Guru Besar Bidang Geopolitik Timur Tengah Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Mutiah Setiawati berpendapat bahwa Indonesia secara konsisten menerapkan politik luar negeri yang bebas aktif dalam merespons konflik di kawasan Timur Tengah, khususnya dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina. "Indonesia tetap berpegang pada sikap mendukung perjuangan Palestina, baik dari segi politik maupun kemanusiaan, meskipun harus menghadapi dilema geopolitik dan tekanan dari kepentingan global," kata Prof. Siti Mutiah Setiawati dalam pernyataannya di Yogyakarta, pada hari Minggu. Ia menjelaskan bahwa sikap tersebut didasarkan pada tiga prinsip utama politik luar negeri Indonesia. Prinsip pertama adalah bebas aktif, yang berarti tidak berpihak pada blok mana pun, tetapi tetap berperan aktif dalam penyelesaian masalah internasional. "Prinsip ini mencerminkan pemikiran tentang bagaimana Indonesia seharusnya bersikap dalam menghadapi situasi persaingan internasional antara Blok Barat dan Blok Timur," tambahnya. Prinsip kedua, yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945, menegaskan bahwa penjajahan harus dihapuskan karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Prinsip ketiga, menurut Prof. Siti, adalah kebijakan bertetangga baik atau good neighbour policy. Prof. Siti berpendapat bahwa konsistensi Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina telah membentuk identitas Indonesia sebagai negara yang menolak penjajahan dan mendorong perdamaian dunia. Namun, Indonesia menghadapi berbagai tantangan. "Perpecahan yang tajam antara kelompok Hamas dan Fatah menjadi hambatan utama," ujarnya. Sementara itu, dominasi Israel yang mendapatkan dukungan kuat dari Amerika Serikat menjadikan penyelesaian konflik sangat bergantung pada kemauan politik negara-negara besar. Dikatakan pula bahwa Indonesia perlu memahami posisi geografis serta dinamika kedua kekuatan ini agar dukungan yang diberikan tidak salah arah. Bahkan, Indonesia juga menghadapi kesulitan dalam upaya mendamaikan kedua kelompok tersebut demi menghadapi tantangan bersama dari Israel. Ia juga menyoroti lemahnya solidaritas negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab. Sejumlah negara seperti Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, dan Bahrain, menurut Prof. Siti, justru menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, terutama setelah penandatanganan Abraham Accord pada tahun 2020. Siti menambahkan bahwa perundingan antara pihak Arab-Palestina dan Israel selama ini pun tidak secara eksplisit membahas kemerdekaan Palestina, padahal kemerdekaan seharusnya menjadi syarat utama dalam penyelesaian konflik. Meski begitu, Indonesia tetap menunjukkan komitmen melalui bantuan kemanusiaan dan diplomasi, termasuk aktif menggalang dukungan dari negara-negara yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB agar mendorong penghentian perang dan memberlakukan gencatan senjata secara permanen. Langkah diplomasi tersebut, menurutnya, merupakan elemen krusial dalam usaha Indonesia untuk mencapai perdamaian dan menghapuskan penjajahan, sesuai dengan mandat konstitusi. "Prinsip politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas dan aktif terbukti menjadi panduan agar tidak terperangkap dalam dinamika geopolitik internasional yang tidak jelas arah dan tujuannya," kata Prof. Siti.
404
Prabowo diundang untuk menghadiri KTT G7 di Kanada sebagai tamu kehormatan
PCO menjelaskan bahwa Dirjen Bea Cukai yang baru dilantik berstatus sipil